Mencampur-campur Bahasa
Terkadang, kita memanfaatkan bahasa asing dalam alam bertutur. Fenomena ini disebut alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing). Alih kode terjadi ketika dua orang penutur secara sadar memanfaatkan bahasa asing demi tujuan tertentu, seperti perubahan topik atau hadirnya peserta tutur lain. Sementara itu, campur kode terjadi di luar kesadaran penutur dan petutur.
Apakah alih kode dan campur kode merupakan kebiasaan yang buruk? Saya rasa tidak selalu. Menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi dapat menunjukkan bahwa penutur dan petutur sudah berada pada pemahaman yang sama. Misalnya, kedua orang tersebut sedang berbincang tentang penulisan takarir media sosial.
Kemungkinan besar, istilah "CTA" atau call to action akan muncul. Namun, keduanya tidak perlu bertanya tentang definisi "CTA". Mereka sama-sama paham sehingga penggunaan bahasa asing itu tidak terasa mengganggu.
Terlebih, alih dan campur kode juga bisa melambangkan keakraban peserta tutur. Dua orang perantau dari Jawa Timur bertemu secara tidak sengaja di Jakarta, misalnya. Mereka lantas saling bertanya kabar, berbasa-basi dengan bahasa Indonesia. Namun, sesekali muncullah kosakata bahasa Jawa yang mewarnai percakapan mereka.
Sebelum memasukkan bahasa asing ke dalam ujaran, sebaiknya kita tahu siapa lawan bicara yang tengah kita hadapi. Kira-kira, apakah ia atau mereka akan mengerti jika kita menggunakan istilah tersebut? Dalam ragam tulisan pun demikian.
Ketahui karakteristik audiens terlebih dahulu. Bahkan, kita juga bisa menjelaskan istilah asing tersebut dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian, tulisan-juga cakapan-dapat lebih mudah dimengerti.
Sumber : Yudhistira - detikEdu
Komentar
Posting Komentar